"SAYA hidup dalam mimpi," kata Nuryati Solapari, 31, mantan TKI asal Subang. Tangan mantan babysitter di Arab Saudi itu bergetar. Matanya berlinang ketika didaulat berpidato singkat di Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Jalan Medan Merdeka, Jakarta, kemarin (16/12).
Nuryati merupakan seorang di antara 12 finalis Indonesia Migrant Worker Award 2010, ajang penghargaan bagi mantan TKI yang dinilai sukses setelah pulang ke tanah air. Kemenko Kesra dan UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia akan memilih tiga eks TKI yang paling berprestasi dalam tiga kategori.
Tiga kategori itu adalah penghargaan Purna-TKI Wirausaha untuk TKI yang beralih menjadi pengusaha, Remitansi Produktif untuk keluarga TKI yang berhasil memanfaatkan uang kiriman sebagai kegiatan produktif, serta Purna-TKI Motivator untuk mereka yang patut menjadi teladan bagi para buruh migran.
Selain Nuryati yang kini berprofesi sebagai dosen, finalis lainnya adalah Imam Nahrowi (membangun pasar TKI), Mahfud (guru bahasa Korea dan petani), Nanang Dwi Saputro (instruktur pelatihan dan produsen sol sepatu), Septiana (pengusaha bengkel motor dan ruko), dan Anton (pengusaha kerajinan tangan).
Kemudian, Henny Yusiati (pengusaha alat tulis kantor), Siti Maryam (pengusaha video shooting, salon, dan warung), Siti Masrofah (pemilik jasa pengiriman tenaga kerja), Wahyudin (eksporter mebel), Fatimah Sirajudin (usaha pertanian, peternakan, dan jasa persewaan TV kabel), serta Zaharuddin Ahmad (pengusaha mebel dan pertanian).
Di antara 12 finalis tersebut, kisah Nuryati terbilang paling unik dan dramatis. Wanita berjilbab yang kini menjadi dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten, itu semula merupakan TKW (tenaga kerja wanita) di Arab Saudi. Selama tiga tahun (1998?2001) dia rela menjadi babysitter.
Dia mengaku tak pernah membayangkan akhirnya menjadi pembantu rumah tangga di tanah rantau setelah lulus SMA. Sebab, perempuan kelahiran 2 Juni 1979 itu adalah lulusan terbaik SMA Prisma, Serang, Banten. Bahkan, sejak kelas satu dia langganan juara dan mendapat beasiswa.
Namun, kenyataan berkata lain. Orang tuanya tak punya biaya untuk menguliahkan dia. Apalagi lima adik Nuryati juga harus bersekolah. Penghasilan ayahnya yang merupakan pegawai rendahan tak mampu untuk membiayai kuliah Nuryati. "Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya saya bulatkan tekad untuk berangkat menjadi TKI di Arab Saudi," terang istri Agus Setiawan itu.
Tapi, Nuryati tidak berangkat dengan kepala kosong. Dia memendam impian untuk bisa berkuliah setelah pulang dari mengumpulkan uang dari pekerjaannya di Arab. Karena itu, hampir separo isi koper yang dibawa ke Arab adalah buku-buku pelajaran SMA serta buku pengetahuan umum. Dia ingin tetap bisa terus belajar meski tidak di bangku formal.
"Untuk memuluskan proses pekerjaan di Arab, saya dipaksa mengaku sebagai lulusan SD," tuturnya.
Beruntung, Nuryati akhirnya diterima bekerja di keluarga dokter. Bahkan, karena dinilai well educated, dia kerap diminta mendampingi putri sang majikan saat belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Dia juga mendapat izin tidur siang dan meluangkan waktu untuk membaca buku.
Selama bekerja di Arab, Nuryati berusaha berdisiplin dalam berbagai hal. Termasuk dalam pembukuan gaji yang dia terima. Bahkan, dia selalu meminta kuitansi pembayaran gaji yang ditandatangani sang majikan. Dengan cara begitu, dia bisa tahu berapa gaji sebenarnya yang diterima setiap bulan.
Selain itu, untuk keselamatan pribadi, nomor-nomor telepon penting, seperti nomor konsulat dan kedutaan dicatatnya dengan sulaman berkode khusus di kerudung yang selalu dipakainya ke mana-mana. Angka nol, misalnya, ditulis dengan kode matahari. Angka 1 dengan kode pohon kelapa, dan seterusnya. "Alhamdulilah, hal yang saya khawatirkan selama bekerja di sana tidak menimpa saya," terangnya.
Setelah dua tahun dan 8 bulan bekerja, Nuryati secara tidak sengaja menyaksikan acara wisuda di Universitas Al Azhar di televisi lokal. Hasrat untuk pulang pun menggebu-gebu. Ibu Bintang Hafizh Setiawan, 4, dan Bunga Qarira Lituhayu, 1, itu pun berpamitan kepada majikan untuk pulang ke Indonesia.
Hanya tiga hari setelah mendarat kembali di tanah air, Nuryati langsung mengikuti tes masuk Fakultas Hukum Universitas Tirtayasa. Dia pun dinyatakan lulus.
Perjuangan dia belum selesai sampai di situ. Sambil kuliah, dia bekerja di Pizza Hut Cilegon dan menjajakan makanan katering. Dia pun harus belajar secara sembunyi-sembunyi di toilet Pizza Hut. "Setiap kali saya sedang belajar, saya taruh tanda "toilet dalam perbaikan" agar tidak mendapat teguran atasan," kenangnya lantas tersenyum.
Kecerdasan dan ketekunan yang dijaganya membuat Nuryati mampu lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,7 dan meraih predikat cum laude. Dia lulus dalam waktu tiga tahun. "Saya kemudian menjadi satu-satunya sarjana di kampung. Hidup saya pun berubah drastis dan menyenangkan," terangnya.
Empat tahun kemudian, Nuryati menyabet gelar master bidang hukum dari Universitas Jayabaya, Jakarta. Nuryati berhasil meraih sertifikat advokat dari Persatuan Advokat Indonesia, namun kemudian memutuskan untuk mengabdi di almamaternya, Untirta, sebagai dosen.
Berkat kisah perjuangannya yang berliku, Nuryati kerap mendapat undangan menjadi pembicara dalam seminar-seminar tentang ketenagakerjaan. "Sekarang saya menempuh studi doktoral di Universitas Padjajaran Bandung," kata Nuryati yang kini juga aktif dalam gerakan advokasi hak-hak TKI.
Cerita Imam Nahrowi lain lagi. Mantan TKI Korea Selatan itu kini menjadi pengusaha sukses di kampung halamannya, Way Jepara, Lampung Timur. Imam memiliki toko bahan bangunan, ruko, dan aset lain senilai total Rp 2,1 miliar. Namun, yang membuatnya tersohor adalah suksesnya mendirikan pasar TKI di Labuhan Ratu, Lampung Timur. Dia mendirikan pasar dengan 70 toko yang semua penjualnya adalah mantan TKI. "Pasar itu untuk memotivasi mereka agar tidak lagi menjadi TKI dan sukses berwirausaha," katanya.
Sukses pria yang orang tuanya berasal dari Blitar itu bisa menjadi contoh dan pelecut para TKI yang ingin sukses di kampung halaman. Pada 2000, Imam bekerja pada perusahaan tekstik di Korsel. Pria yang kini menjabat ketua umum Gerakan Pemuda Anshor Cabang Lampung Timur itu dikontrak dua tahun hingga 2002.
Selama bekerja di Korea, Imam mendapatkan gaji Rp 5 juta per bulan. Sebagian gaji tersebut dia tabung, sebagian dia kirimkan untuk modal usaha di kampung.
Pada akhir 2002 Imam menyelesaikan kontrak kerjanya dan memilih pulang ke Lampung. Dengan tabungan Rp 50 juta, Imam mendirikan toko alat bangunan. Keuletannya dalam bekerja membuat keuntungan berlipat dan kepercayaan konsumen naik tajam. Selain masyarakat umum, sebagian besar pelanggan toko Imam adalah mantan TKI dan keluarga TKI. Kini, tokonya beromzet Rp 140 juta per tiga bulan.
Tak berhenti sampai di situ, Imam pun terpanggil untuk mendorong TKI lain menggapai sukses seperti dirinya. Karena itu, dia mendirikan pasar TKI. Pasar itu didirikan khusus untuk TKI dan harus dicicil dengan uang kiriman TKI dari luar negeri. Tujuannya, "memaksa" para TKI tidak menghabiskan uang hasil jerih payahnya untuk bahan konsumsi semata, tapi juga untuk berwirausaha setelah pulang nanti.
Imam prihatin dengan sikap sebagian besar TKI. Menurut dia, ketika masih bekerja di luar negeri mereka membangun rumah besar dan mentereng di kampung. Namun, beberapa tahun setelahnya mereka mulai menjual hartanya karena terlilit utang. "Karena itu, saya dirikan pasar TKI. Ini saya dedikasikan untuk memotivasi para TKI agar ingat masa depannya setelah pulang nanti," tandasnya.
Sumber: www.tkiindo.co.cc
0 komentar:
Posting Komentar